SELAMAT DATANG DI BLOGGER SAYA

Friday, June 15, 2007,3:12 AM
Sampah Goyang Wali Kota
DUA tahun silam, sampah menumpuk sampai tiga minggu di seluruh bagian wilayah Kota Surabaya. Apa pasal? Warga sekitar menutup Tempat Pembuangan Akhir Sampah Keputih yang selama itu jadi andalan pemerintah kota. Penggantinya, TPA Benowo, masih dalam tahap penggarapan.

MAKA, bau menyengat ke mana-mana. Warga marah. Sasarannya siapa lagi kalau bukan orang yang bertanggung jawab terhadap kemaslahatan kota: sang wali kota. Sunarto Sumoprawiro waktu itu tengah berobat di Australia. Tak ada rotan akar pun berguna. Yang kena getahnya siapa lagi kalau bukan Wakil Wali Kota Bambang Dwi Hartono, yang kemudian dipercaya DPRD Surabaya menggantikan bosnya, Sunarto.

Sampah yang menumpuk ternyata dapat menggerakkan warga menyerang wali kotanya. Pelajaran berharga buat masyarakat. Betapa tidak! Setiap hari rata-rata 8.800 meter kubik sampah yang terkumpul di Kota Buaya itu. Sekitar 70 persen adalah sampah organik, sumber bau menyengat itu. Jadi, dalam tiga minggu yang membuat warga marah tak kurang 168.000 meter kubik atau 42.000 ton sampah tak terangkut-angkut ke tempat pembuangan akhir (TPA)-nya.

Buntut dari serangan warga ini kepada pemerintah kota rada panjang. Bambang yang kena getah rupanya belum menguasai bawahannya yang masih setia pada Sunarto untuk membereskan sampah. Tapi, kemudian ia berhasil memojokkan saingannya-mantan Sekretaris Kota Surabaya M Jassin, mantan Ketua DPRD Mochamad Basuki, dan Wakil Ketua DPRD Ali Burhan-melalui tuduhan korupsi di DPRD.

BAMBANG sementara bebas dari serangan sampah setelah memenangi pertarungan politik. Namun, persoalan sampah di Surabaya tampaknya belum tuntas, bahkan setiap sewaktu bisa dimunculkan kembali. Soalnya, pengelolaan sampah masih dijadikan obyek untuk mencari komisi. Lihat saja TPA Benowo yang dibangun akhir tahun 2001 sebagai satu-satunya TPA untuk Surabaya. Lahan yang direncanakan berumur 15 tahun dengan ketinggian sampah 20 meter itu diperkirakan hanya bertahan tujuh tahun atau sampai 2008.

Ketua tim konsultan pembangunan TPA Benowo dari Institut Teknologi Sepuluh November (ITS), Prof Wahyono Hadi PhD, mengatakan, sejak awal, pembangunan TPA Benowo jauh dari harapan. Ketika pembangunan Benowo berjalan 50 persen, sampah sudah masuk di sana sebab TPA Keputih ditutup warga. "Padahal, banyak pipa saluran dan prasarana lain yang belum siap dan sulit memasangnya setelah sampah tiba," katanya.

TPA Benowo seluas 26 hektar dirancang dengan sistem sanitary landfill. Ada sejumlah ketentuan untuk menerapkan sistem itu. Sampah yang telah ditumpuk harus disemprot dengan starter mikroba, lalu setiap hari ditutup dengan tanah untuk mengurangi bau, lalat, dan mempercepat pembusukan. Untuk meredam bau dan tebaran sampah ke luar, sekeliling lahan pembuangan harus ditanami dengan pohon tinggi berlapis tanaman perdu. Setiap dua meter harus ada titik ventilasi sebab setiap sewaktu gas metana dapat keluar dan terbakar karena proses alami. Kelayakan instalasi pengolahan air limbah juga menjadi syarat. TPA Benowo menerima 2.500 meter kubik sampah per hari.

Tidak demikian kenyataan di lapangan. Dinas Kebersihan Kota Surabaya hanya menutup sampah dengan tanah sekali dalam setahun. Terakhir, sampah dilapisi tanah pada Oktober 2003, tepat sebelum pengisian zona berikutnya. Ada empat zona pembuangan di TPA itu.

Tidak tampak pepohonan di sekeliling lahan pembuangan. Saluran tepi yang membatasi tambak warga dengan kolam lindi sebagian tertutup tanah, hingga lindi mencemari tambak. Cerobong ventilasi hampir tertutup sampah dan tidak sesuai dengan ketentuan.

Sampah yang masuk tidak cuma sampah rumah tangga, tetapi juga sampah industri yang mengandung pewarna dan bahan organik lainnya. Pengelolaan TPA itu tidak ubahnya dengan menghampar sampah.

Prof Wahyono yang juga Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Jawa Timur memperkirakan TPA itu hanya dapat bertahan tujuh tahun. Tempat pembuangan yang dikelola dengan serampangan itu juga memperbesar potensi kerusakan lingkungan. Tambak udang dan ikan yang berbatasan langsung dengan TPA Benowo sebagian sudah tercemar lindi. Air tambak kemerah-merahan. Belum lagi bau dan asap akibat kebakaran.

Pemerintah Kota Surabaya memang sudah menganggarkan kompensasi kepada warga. Jika pemerintah kota tidak mengantisipasi dan kerusakan lingkungan makin parah maka warga akan terganggu. Kesehatan dan kenyamanan membuat kompensasi itu tak berarti apa-apa. Protes warga dapat muncul kapan saja yang bisa diikuti oleh gerakan penutupan TPA seperti yang telah terjadi.

Prof Wahyono mengatakan, tidak mudah mencari lahan TPA yang ideal di kota padat penduduk seperti Surabaya. Selain lahan luas, perlu persetujuan penduduk sekitar. Yang terakhir ini justru lebih sulit. Itu sebabnya diharapkan Pemerintah Kota Surabaya mampu memanfaatkan penggunaan TPA itu sebaik-baiknya. Bila perlu, TPA jangan lagi dipindahkan.

Dibutuhkan komitmen dan kerja keras pemerintah kota bagi upaya itu. Kenyataannya, selama ini alokasi anggaran pembangunan Dinas Kebersihan Surabaya lebih kepada program yang tidak jelas. Pembelian incenerator, misalnya, tidak kurang mengeluarkan Rp 2,4 miliar untuk pembakaran sampah di bekas TPA Keputih. Tapi, alat ini sering tak berjalan. Kepala Dinas Kebersihan sudah berkali-kali diperiksa polisi karena dugaan penggelembungan anggaran Dinas Kebersihan sebesar Rp 1,2 miliar dari APBD 2002.

Berbagai kampus memberikan solusi penanganan sampah rumah tangga, tempat penampungan sementara, hingga TPA, tetapi jarang mendapat tanggapan dari pemerintah kota. Sejumlah pihak swasta yang pernah mau melibatkan diri tinggal kenangan. Kalau keadaan masih terus begini, bukan tak mungkin politik sampah menimpa Wali Kota Bambang DH yang masa pertama jabatannya berakhir Februari 2005.

Wacana politisi busuk sedang dikembangkan. Kalau wacana ini berjalan dengan baik, para politisi busuk bisa-bisa ditolak oleh para pemilih di TPS, seperti halnya sampah busuk ditolak di TPA. Politisi busuk, sampah busuk. Jadi apakah politisi itu? (IPS)

(kompas, sabtu 10 januari 2004)
 
posted by lia
Permalink ¤