SELAMAT DATANG DI BLOGGER SAYA

Thursday, June 14, 2007,1:04 AM
Hidup di Bantaran Sungai (2) PEREMPUAN-PEREMPUAN ITU PENGGERAK PERUBAHAN
Oleh M Puteri Rosalina dan Elok Dyah Messwati
Bisakah Anda bayangkan ada orang mencuci piring dan gelas dengan
menggunakan air sungai yang begitu kotor? Tak usah heran bila
kejadian itu telah menjadi semacam rutinitas yang dilakoni warga yang
tinggal di salah satu sudut Ibu Kota. Mau melihat sendiri? Sesekali
turun ke bantaran Sungai Ciliwung yang membelah kota Jakarta.
Untuk menyiasati pekatnya air sungai, seorang ibu yang tinggal di
kawasan Jatinegara, Jakarta Timur, bahkan mencoba mencampurkan cairan
kimia pemutih baju ke air sungai yang ditimbanya untuk mencuci
piring. Sang ibu, tentu saja tidak sadar akan bahaya lain yang
mengancam. Sebab, mencampur air sungai yang kotor dengan cairan kimia
pemutih baju jelas tindakan yang membahayakan kesehatan.
Lalu, mengapa tidak menggunakan air bersih? Justru di sana pokok
masalahnya. Bagi warga yang tinggal di bantaran Sungai Ciliwung,
pertanyaan semacam ini boleh jadi justru terdengar naif. Air bersih
harus dibeli. Selain berarti menambah pengeluaran sehari-hari dari
pendapatan yang begitu terbatas, bagi mereka, air bersih sudah
seperti identik dengan kemewahan. Kalau setiap kali mencuci piring
dan peralatan dapur harus membeli air bersih, jelas mereka tak mampu.
Oleh karena itu, memberi pengetahuan dan pemahaman kepada
perempuan di bantaran sungai sangat penting untuk dilakukan.
Bagaimanapun, perempuan dan anak-anaklah yang menjadi korban utama
akibat kotornya sungai-sungai kita. Setiap hari merekalah yang sangat
dekat dengan kehidupan sungai. Kaum perempuan itu pula yang lebih
banyak bersentuhan dengan sungai kotor itu, lewat aktivitas sehari-
hari, seperti mencuci baju dan atau peralatan dapur/makan.
Pada seminar "Perempuan di Bantaran Sungai Ciliwung" medio
Desember 2006, salah seorang peserta, Ny Pini-warga Pasar Pintu Air,
RT 05 RW 11, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah Abang, Jakarta
Pusat-mengeluhkan sampah pasar yang menumpuk di depan rumahnya.
Letak sampah yang berada di pinggir sungai sangat rawan jatuh ke
sungai. Belum lagi penumpang kereta yang kerap melempar sampah keluar
jendela dan jatuh ke sungai.
"Kami minta dibuatkan bak sampah yang besar karena sampah tidak
setiap hari diangkut," kata Ny Pini. Jika sampah menumpuk, bau tidak
sedap pun akan segera tercium. "Untung saja sampah ikan tidak
dibuang di depan rumah saya. Kalau ikut dibuang di situ, wah pasti
banyak lalat," tambahnya.
Situasi sama juga dirasakan Ny Mariam, yang tinggal di dekat Kali
Lagoa Kanal dan Kali Sindang di Kelurahan Koja, Kecamatan Koja,
Jakarta Utara. Karena sampah dari Pasar Sindang menumpuk, tidak
jarang belatung pun ada di mana-mana.
Hal semacam ini tentu tidak nyaman dan mengganggu kesehatan
warga, terutama kesehatan anak-anak. Belum lagi bau busuk "pulau-
pulau" sampah yang membuat Kali Lagoa Kanal mampet.
Ketidakadilan jender
Hasil temuan program lingkungan berperspektif jender kerja sama
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) Quadrant Utama dengan Pusat Studi
Kajian Wanita, Universitas Indonesia, menyebutkan bahwa masalah
pencemaran sungai diperparah oleh terjadinya ketidakadilan jender
dalam masyarakat. Di satu sisi perempuan memiliki potensi positif
terhadap pemeliharaan lingkungan dan sungai, tetapi di sisi lain
kehidupan mereka masih dinomorduakan oleh masyarakat.
Kemampuan perempuan sering diabaikan oleh masyarakat, padahal
perempuan memiliki kualitas sumber daya manusia yang sebetulnya
efektif bagi pengembangan kehidupan masyarakat dan lingkungan.
Bukankah kelompok perempuan yang hidup di areal bantaran sungai
merupakan kelompok masyarakat yang paling dekat dengan sungai,
lantaran rutinitasnya di dalam menjalankan dan mempertahankan
kehidupan rumah tangga?
Kualitas kehidupan para perempuan-yang tinggal bantaran sungai-
yang rendah, menempatkan mereka secara mayoritas pada kehidupan
marjinal. Ketidakadilan jender itu tidak hanya mengancam keselamatan
kelompok perempuan yang hidup di bantaran sungai, tetapi juga
mengancam keselamatan lingkungan dan sungai.
Beban kehidupan kelompok perempuan di bantaran sungai yang begitu
berat, baik secara sosial ekonomis maupun psikologis, justru
membangkitkan kekuatan para perempuan ini dalam menghadapi persoalan
mereka secara realistis. Perempuan diyakini mampu bertindakstrategis
secara ekonomis, mampu menjalankan peran yang bertumpuk-baik
domestik/reproduktif, maupun produktif- meskipun dengan peran
bertumpuk itu sangat berisiko bagi keselamatan dan kesehatan mereka.
Sudah enam bulan ini Quadrant Utama mendampingi perempuan di
bantaran sungai di wilayah Jakarta. Mereka mengadvokasi, melakukan
pendampingan, dan memberi penyuluhan mengenai bagaimana menjaga
kebersihan sungai. Sejak didampingi, kini sudah tidak ada lagi ibu-
ibu yang mencuci piring dengan air sungai yang dicampur dengan cairan
kimia pemutih baju. Setidaknya mereka kian sadar akan bahayanya.
"Getok tular"
Menurut Ny Mariam, Ketua RT 08 RW 08, Kelurahan Koja, Kecamatan
Koja, Jakarta Utara, dari 300 perempuan yang ada di dua RW di sana
terbentuklah kelompok inti yang terdiri atas 100 perempuan. 100
perempuan di wilayah Koja inilah yang secara intensif mendapatkan
pendidikan, pengetahuan, dan makin luas pemahamannya tentang
pentingnya fungsi sungai.
Karena tidak semua perempuan teradvokasi, para perempuan di
kelompok inti melakukan upaya penyebaran informasi kepada rekan dan
tetangga-tetangganya dengan cara "getok tular". Mereka, misalnya,
memberi masukan kepada ibu-ibu lain agar sebaiknya tidak membuang
sampah dan buang air besar di sungai supaya sungai tidak mampet dan
bau busuk.
"Tapi ada saja tetangga yang berkomentar negatif saat diberi
saran. Seperti mengucapkan kata-kata 'belagu loe'.... Begitulah,
mereka belum sepenuhnya sadar," kata Ny Mariam.
Mereka pun diajak untuk membersihkan lingkungan masing-masing,
membuang sampah di tempat sampah yang mereka buat bersama, mengajak
anak-anak untuk tidak sembarangan membuang sampah.
Hal yang sama juga dilakukan di Kebon Melati, Pintu Air, di
Kelurahan Petamburan, di Manggarai, Jatinegara, dan Kampung Melayu.
Bahkan, di Pasar Pintu Air, Kelurahan Petamburan, Kecamatan Tanah
Abang, meskipun rumah-rumah yang ada adalah rumah-rumah petak, kini
mereka telah memiliki kaleng bak sampah di depan pintu rumah masing-
masing.
"Anak-anak di sini pun kami larang untuk berenang di sungai
karena berbahaya," kata Ny Pini tentang meningkatnya kesadaran para
perempuan di bantaran sungai di sana.
Apalagi menjelang banjir tahunan, mereka harus lebih waspada dan
tidak lagi membuang sampah seenaknya. "Kami juga melakukan lomba
kebersihan di sini," tutur Ny Pini. Mereka yang tinggal di bantaran
sungai tak mau mengulang duka saat kebanjiran, saat perabot rumah
tangga mereka-seperti kursi, kasur, televisi, dan piring-terendam
air dan rusak.
"Kalau sudah begitu, mau tidak mau kami terpaksa mengungsi di
pelataran rumah susun sampai air surut kembali. Jadi, kami tidak mau
kebanjiran lagi," papar Ny Pini, dan diamini para perempuan
tetangganya.
Kesadaran perempuan dan upaya memberdayakan perempuan yang hidup
di bantaran sungai harus terus-menerus dibangun agar suatu saat kita
bisa benar-benar mendapatkan sungai yang bersih.
Kesadaran perempuan dan upaya memberdayakan perempuan yang hidup di
bantaran sungai harus terus-menerus dibangun.

(KOMPAS - Rabu, 17 Jan 2007 Halaman: 14 Penulis: Rosalina, M Puteri; Messwati, Elok Dyah Ukuran: 8264)
 
posted by lia
Permalink ¤